Meniti Jalan Thariqah: Mencari “Jalan Setapak”

Meniti Jalan Thariqah: Mencari “Jalan Setapak”

Meniti jalan off-road yang gelap, terjal, berbatu, berlumpur, semak berduri, seringkali membuat Kita kelelahan, ketakutan dan hilang kesabaran. Sebagaimana pendaki gunung yang berpengalaman masih bisa tersesat. Pendaki harus fokus pada “jalan setapak”, jalan yang pernah dilalui orang yang telah sampa i pada puncak gunung.

Menemukan jalan setapak seringkali digiring hal-hal di luar nalar dan sinyal-sinyal dalam bentuk musibah yang bertubi-tubi.

Landasan dari Quran

Ayat

فاتخذ سبيله فى البحري سربا

Terjemahan

“… lalu dia (ikan yang dibawa Musa) mengambil sabiila-nya di dalam laut (dengan) melompat.” (Al Kahf:61)

Tafsir Ibn Katsir

Titik lokasi yang dicari Nabi Musa untuk bertemu Nabi Khidir (gurunya) sesuai petunjuk Allah adalah di mana ikan yang menjadi bekal Nabi Musa hidup kembali dan mengambil jalan ke laut dengan aneh. Jalan yang dibuat ikan itu disebut dengan diksi Sabiila yang bermakna:

  1. Jalan yang dilalui, yang seperti terowongan dalam tanah, padahal di dalam laut.
  2. Jalan yang menjadi keras, seakan membatu, padahal laut benda cair.
  3. Jalan air yang mengering seperti batu.
  4. Jalan yang sejak manusia ada tidak terbuka, kecuali dari bekas ikan (milik Nabi Musa). Terbuka seperti celah dan terlihat oleh Musa.
  5. Jalan yang bekas dilalui ikan yang menjadi beku dan membentuk terowongan.

Secara subjektif, ikan tersebut sejenis ikan yang diasinkan sebagai bekal Nabi Musa dan muridnya, yang telah dimakan separuhnya yang kemudian hidup kembali untuk “menunjukan jalan” kepada Nabi Musa mengenai titik lokasi pertemuan dengan Nabi Khidir.

Ikan tersebut tetap hidup dan berkembang biak hingga saat ini dengan nama flatfish (pleuronectiformes), diantaranya spesiesnya: P. platesa.

“Jalan Setapak” = Guru Mursyid

Menemukan jalan setapak, seringkali diiringi hal-hal di luar nalar.

Nabi Musa berthariqah kepada Nabi Khidir, maka berguru kepada Nabi Khidir merupakan “jalan setapak” yang telah ditemukan Nabi Musa dengan petunjuk Allah, meskipun Nabi Musa dan muridnya sempat “nyasar” dari lokasi yang telah ditunjukkan. Allah menunjukan lokasi dengan kejadian di luar nalar: ikan mati yang hidup lagi, lompat ke laut, membentuk jalan (sabiila) ke laut sebagai tempat pertemuan dengan Nabi Khidir.

Hal-hal di luar nalar yang terjadi dalam hidup Kita mungkin saja bermakna bahwa Allah ingin menunjukkan tanda kebesaran-Nya dengan mengarahkan Kita kepada seorang guru mursyid agar Kita bisa meniti jalan menuju makrifat.

Umumnya, seseorang akan mencari tahu jawaban ketika mengalami peristiwa di luar nalar dan bercerita kepada orang-orang tertentu yang bisa jadi orang tersebut akan menjadi atau mengarahkan kita kepada seorang mursyid, sesuai petunjuk-Nya.

Hanya saja, kebanyakan Kita tidak peka dan malah berbangga diri menjadikan kisah-kisah di luar nalar yang Kita alami sebatas bahan obrolan dan materi konten motivasi di media sosial, tanpa mendekatkan diri kepada-Nya dengan melakukan Langkah Pertama Meniti Jalan Makrifat.

Semoga Allah selalu memberi petunjuk.

Menemukan “Jalan Setapak” dengan Tahanuts

Bertemunya seseorang dengan mursyid, sadalah proses yang random (acak), sebagaimana turunya hikmah (Al Baqarah:269). Meskipun bersifat acak, ada wasilah yang disebut tahanuts, di antara makna tahanuts berdasarkan kebiasaan Nabi Muhammad sebelum bertemu Jibril ‘Alaihis Salam pertama kali:

  1. Memberi makan fakir miskin.
  2. Bertafakur memikirkan keagungan penciptaan alam semesta.
  3. Berkhalwat menyindiri meninggalkan kemaksiatan.

Kesepian

Di antara hal-hal yang dirasakan ketika menemukan jalan setapak atau telah bertemu dengan guru mursyid:

  1. Kesepian.
  2. Putus asa.
  3. Takut dan Khawatir.

Dikutip dari Sejarah Hidup Muhammad halaman 86 bahwa setelah pertemuan pertama dengan Jibril dan wahyu belum turun lagi, Nabi Muhammad merasa terasing dari orang sekitarnya, bahkan dirinya sendiri. Beliau merasa takut, bahkan Khadijah berkomentar,

“Mungkin Allah tidak menyukaimu lagi.”

Makin hari, makin putus asa, juga cemas akibat ucapan istrinya tersebut hingga Beliau berpikir untuk mati saja dan melemparkan diri dari atas Gua Hira atau gunung Abu Qubais. Beliau kesepian,

Mengapa Engkau meninggalkanku setelah Engkau memilihku?”

Kesepian sebagaimana kita menyusuri jalan setapak di tengah hutan belantara yang lebat, sendirian, merasa terasing, meskipun di siang hari.

Seolah Kita telah sering berbuat kebaikan kepada banyak orang, namun tidak satupun dari mereka, bahkan orang terdekat yang menjadi penolong kita saat kesusahan.

Imam Syafi’i berkata dalam Diwan As Syafi’i,

“Jika semua orang menjauh ketika Kamu mendapatkan kesulitan, maka Allah yang akan menjadi penolongmu.”

Ungkapan Cinta dari-Nya

Allah merespon budak-Nya yang kesepian setelah sekian bulan,

والضحى واليل اذا سجى ماودعك ربك و ما قلى

ياايهاالمدثر قم فانذر

disertai perintah:

  1. Mengagungkan Rabb,
  2. Membersihkan pakaian,
  3. Meninggalkan perbuatan dosa,
  4. Tidak memberi dengan mengharapkan balasan yang lebih,
  5. Bersabar dalam memenuhi perintah Rabb.

Jika Guru Mursyid Mengajarkan Metode Penyucian Jiwa

Maka, murid sedang diajarkan bertasawuf. Tidak bisa seorang bertasawuf tanpa mursyid, pasti tersesat sebagaimana orang awam yang menolak dinasihat dengan sanggahan, “Untuk urusan ibadah, biarlah Allah yang menilai! Yang penting kan masih shalat…”

Metode Penyucian Jiwa di Zaman Tabi’in

Hasan Al Bashri seorang tabi’in yang lahir dari kalangan budak di Madinah. Ayahnya tawanan perang, ibunya budak. Beliau dibesarkan oleh Ummu Salamah dan pernah disusui olehnya. Dia dibesarkan di lingkungan ahlul bait dan berguru langsung kepada para sahabat, termasuk Umar bin Khatab.

Juga berguru kepada kedua ahli tafsir: Ibnu Abbas dan Ibnu Umar, ‘Ali, serta Hudzaifah bin Yaman. Dan pencatat serta penghapal Quran: Ubay bin Ka’ab dan Muawiyah. Ubay bin Ka’ab dan Ibnu Abbas memiliki mushaf yang susunan suratnya berbeda dengan mushaf Utsmaniyah.

Setelah Islam menyebar beliau tinggal di Basrah, Iraq untuk mengajar dengan mendirikan pusat keilmuan Madrasah Al Hasan Al Bashri dan menjalani hidup dengan berzuhud, juga menyeru muridnya untuk menghidupkan kebiasaan di masa salaf, yakni zaman Rasullulah dan para sahabat.

Beliau tidak melibatkan diri dalam politik praktis yang saat itu sedang terjadi gejolak. Beliau hidup saat terjadi pergolakan di zaman Dinasti Umayyah.

Kezuhudan dan mutiara hikmah beliau dijadikan rujukan bagi para muridnya hingga di kemudian hari disebut metode bertasawuf, yakni penyucian jiwa dalam rangka menjadi pribadi muhsinin. Konsep ini sesuai dengan ajaran Rasullulah terkait dengan islam, iman, dan ihsan yang diajarkan langsung oleh Jibril, termasuk di dalamnya kaidah rukun iman, dan rukun Islam. Muhsinin berarti orang yang ihsan, yang beramal seolah-olah Allah ada di hadapannya.

Namun, kezuhudan beliau tidak beliau ajarkan sebagai sebuah cabang ilmu tersendiri sebagaimana orang di masa sekarang melabeli ajaran tersebut sebagai ilmu tasawuf dan menganggap beliau sebagai tokoh sufi pertama. Sufi bermakna orang yang bertasawuf.

Penyimpangan dalam Metode Penyucian Jiwa

Jika:

  1. Terjebak pada paham-paham menyimpang: humanisme, feminisme, liberalisme, sekulerisme, agnostik, ateis.
  2. Mengedepankan karya seni sebagai sarana dakwah.
  3. Meninggalkan shalat.
  4. Meninggalkan Quran dan amalan-amalan lainnya.
  5. Merasa cukup dengan berbuat baik.
  6. Mempromosikan tarian helikopter.
  7. Menjadikan tasawuf model pembelajaran baku dan terstruktur (tingkatan maqam).

Tokoh-tokoh ahlus sunnah wal jama’ah yang dianggap sebagai sufi tidak ada yang mengklaim dirinya seorang sufi. Perilaku kezuhudan juga dicontohkan oleh Rasullulah Shallahu ‘Alaihi Wassalam dan beliau juga tidak mengklaim diri seorang sufi.

Sufi adalah labelling untuk orang-orang yang mengutamakan berzuhud, bukan sekte atau aliran seperti yang dipahami orang di masa sekarang.

Jika Allah Tidak Menunjukan “Jalan Setapak”

Berkembangnya labelling di masyarakat terhadap metode dakwah, kelompok sosial, dan ormas, di antaranya: Jamaah Tabligh, Ikhwanul Muslimin, NU, Muhammadiyah, Persis, Salafi, Wahabi, Sunni, Syi’ah, Islam Nusantara, Hizbut Tahrir, Majelis Habib, dan sebagainya, membuat masyarakat awam kebingungan.

Akhirnya, mereka yang kebingungan mengelompokan diri sebagai “Islam yang biasa-biasa aja” atau “Islam yang toleran”.

Dari kelompok sosial “Islam yang toleran” berkembang menjadi kelompok humanis, feminis, sekuleris, dan liberalis yang secara tidak sadar meninggalkan dan menjadikan ajaran Nabi sebagai olok-olokan, serta mencampuradukan berbagai ritual ibadah mengatasnamakan kemanusiaan dan perdamaian.

Mereka menganggap perbuatan baik kepada sesama manusia adalah perilaku beradab dan orang beradab lebih baik daripada orang berilmu (jargon sufistik yang populer di kalangan selebritis). Akhirnya mereka menganggap diri mereka telah bertasawuf dan mengklaim diri seorang sufi.

Lalu berkembang kepada pemikiran agnostik dan atheis, serta menjadikan kata-kata bijak dan syair sebagai panduan hidup. Menjadikan seniman dan budayawan, serta humanis “jalan setapak” di tengah hutan belantara.

Jika “Jalan Setapak” = Seniman

Imagine there’s no heaven
It’s easy if you try
No hell below us
Above us only sky
Imagine all the people
Living for today… Aha-ah…

Imagine there’s no countries
It isn’t hard to do
Nothing to kill or die for
And no religion, too
Imagine all the people
Living life in peace… You…

Bahkan populer di antara mereka,

“Orang Nasrani juga masuk surga, kok! Asalkan berbuat baik! Allah, bukan Tuhan Yang Jahat…”

“Toh ujungnya sama-sama masuk surga, walaupun dicelup-celup dulu di neraka.”

“Ga usah munafik, Kita tuh cuma berbeda dalam memilih dosa aja!”

“Beribadahlah seolah-olah surga dan neraka itu tidak ada.”

“Banyak orang belajar agama lupa menjadi manusia dan menjelma menjadi Tuhan.”

“Semar bilang, “Bekerjalah dengan ikhlas, walaupun tidak membuatmu kaya. Kalo ikhlas, lagi butuh pasti ada.”

“Tuhan itu Maha Asyik dan Maha Keren. Semuanya akan indah pada waktunya.”

“Terimakasih semesta. Namaste.”

Begitulah mereka menjadikan seniman sebagai “jalan setapak.”

Implementasi Jalan Setapak

Merujuk kepada kisah Nabi Musa berthariqah kepada Nabi Khidir:

  1. Mencari jalan setapak perlu usaha, waktu dan kesabaran.
  2. Terkadang jalan yang dicari muncul melalui momen kebetulan, terlupa, dan hal-hal yang di luar nalar.
  3. Jalan setapak hanya dapat dilalui dengan mengikuti arahan guru.

Merujuk kepada kisah Nabi Muhammad bertemu Jibril:

  1. Merasakan kesepian.
  2. Terkadang hikmah muncul di detik-detik terakhir.
  3. Mengagungkan Rabb.
  4. Membersihkan pakaian.
  5. Meninggalkan perbuatan dosa.
  6. Memberi dengan tanpa mengharapkan balasan yang lebih.
  7. Bersabar dalam memenuhi perintah Rabb.

Semoga Allah selalu memberi petunjuk.