Apa Bekal Kita?

Apa Bekal Kita?

Quran adalah bekal utama Kita untuk melangkah meniti jalan makrifat.

Ironis, Quran tidak dibaca dan dipahami sesuai tafsirnya dan Kita keracunan kearifan lokal dan pemikiran budaya barat: humanisme, feminisme, liberalisme, sekularisme, agnostik, dan ateis.

Perhatikan!

Berdasarkan kaidah semantik, terdapat kaidah leksikal (terjemah baku) dan gramatikal (tafsir).

  1. I miss you. Maknanya aku rindu kamu. Diterjemahkan kata per kata: aku kehilangan kamu; aku nona kamu.
  2. Kulo nuwun. Maknanya permisi. Diterjemahkan kata per kata: saya minta.
  3. Angkat kamana Teh? Maknanya: “Pergi kemana, Kak (perempuan)?”. Diterjemahkan kata per kata: “Letakan ke sebelah manakah?”
  4. “Masa 6.” Maknanya: 6 bilangan; 6 satuan fisika; 6 satuan orang.
  5. Duta naek daun. Maknanya: Duta terkenal.
  6. Ayahnya sudah pergi. Maknanya: Ayahnya sudah meninggal.
  7. Gajah di pelupuk mata tak nampak, semut di seberang lautan terlihat. Maknanya: Kesalahan orang lain selalu dilihat, meskipun sepele.
  8. Ak mkn pg. Maknanya: aku makan pagi atau aku mungkin pergi.

Bahasa Quran

Bahasa pengantar Quran adalah bahasa Arab yang kaya makna. Satu diksi memiliki banyak arti (homonim) tergantung konteks, dialek, dan intonasi. Selain homonim, terdapat peribahasa (idiom). Quran turun sebagai wahyu dengan bahasa Arab yang dilafalkan oleh Nabi Muhammad.

Meskipun beliau tidak bisa baca tulis, beliau melafalkan bahasa Arab baku yang belum tercampur dialek dan serapan dari bahasa Persia, Syam, Yaman, dan Romawi. Contoh bahasa Arab yang sudah tercampur: khair dilafalkan kher; ustadz serapan dari bahasa Persia.

Para sahabat Nabi, selain menghafal Quran, juga mencatat potongan ayat dalam lembaran-lembaran. Lembaran tersebut kemudian dibukukan pertama kali di zaman khalifah Usman bin Affan dengan huruf Arab yang tidak menggunakan tanda baca.

Di antara para sahabat yang telah “membukukan” Quran terlebih dahulu adalah: Ubay bin Ka’ab, Ibnu Abbas, dan Ibnu Mas’ud.

Terjemahan dan Tafsir Quran

Sesuatu yang diterjemahkan bisa berbeda makna tafsirnya. Setiap wahyu turun, Nabi melafalkan kepada para sahabat, juga menjelaskan tafsirnya.

Di antara sahabat beliau yang digelari ahli tafsir adalah Abdullah bin Mas’ud dan Abdullah bin Abbas. Keduanya memiliki murid dari kalangan generasi selanjutnya yang kemudian secara turun-temurun menghimpun tafsir ayat-ayat Quran hingga dibukukan oleh Imam Ath Tabari, Qurthubi, dan Ibnu Katsir.

Ketiga kitab tafsir tersebut tidak populer di masyarakat Indonesia yang kebanyakan hanya mengenal kitab terjemahan dan Kitab Kuning yang di dalamnya terdapat Tafsir Jalalain.

Dengan adanya kemajuan teknologi informasi sekarang, semua kitab tafsir dapat diakses, bahkan dengan gratis dan telah diterjemahkan ke berbagai bahasa di segala penjuru dunia. Hanya saja, hati Kita terlalu keras untuk mau membaca dan menerima Quran.

Quran yang Ditinggalkan

يرب ان قومى اتخذوا هذالقرءان مهجرا

“…Ya Rabbku, sesungguhnya kaumku menjadikan Quran ini sesuatu yang ditinggalkan.” (Furqon:30)

Kebanyakan muslim tidak membaca dan menjauh dari Quran sebagaimana sebagian besar umat Kristen tidak membaca dan memahami isi alkitab. Sebagian besar penghapal Quran pun tidak membaca kitab tafsir.

Imam Syafi’i berkata dalam Siyar A’lamin Nubala jilid 10 halaman 89,

العلم نفع ليس العلم ما حفظ

“Ilmu adalah yang (memberi) manfaat, bukanlah ilmu apa-apa yang dihapal.”

Membaca terjemahan berbeda dengan memahami berdasarkan tafsir. Inilah yang terjadi sekarang, Quran tidak dibaca dan dipahami sesuai tafsir, sehingga mereka tidak tahu apa isi Quran, perintah dan larangan, serta kisah-kisah di dalamnya. Mereka beranggapan bahwa mempelajari Quran hanya sebatas pelajaran SD semata.

Muslim sekarang lebih memilih menghabiskan waktu untuk menghibur diri dengan syair, kata-kata motivasi, nyanyian, menyibukkan diri demi karier dan jaminan hidup di masa depan. Bahkan dalam sebuah konten social experiment santriviral.id ditanyakan kepada puluhan wanita berkerudung, “Siapa Nabi setelah Nabi Isa?”, mereka tidak bisa menjawabnya.

Pun sebagian dari mereka muncul di permukaan sebagai influencer, pemimpin dan penyeru umat hanya bermodalkan nasab, gelar, status sosial, serta menghapal ayat Quran dan terjemahannya saja, tanpa menafsirkan sesuai kitab tafsir. Diantara mereka berani berfatwa kepada umat dan menjadi tempat berkonsultasi.

Semoga Allah memberi Kita petunjuk.